WARTA IMAM

Agama Dan Keadilan Sosial

Amat penting bagi pengabdi keadilan mengerti hubungan antara agama dan usaha menegakkan keadilan sosial, sebab agama dalam masyarakat merupakan institusi, suatu penataan hubungan antar-manusia dengan yang Ilahi dan hubungan antar-manusia sendiri. Untuk mengerti hubungan antara agama dan usaha menegakkan keadilan sosial, perlulah pengabdi keadilan mengetahui berbagai fungsi institusi agama dan yang menonjol dari fungsi institusi agama dalam masyarakat yang konkret.

Baca juga :
Pengabdi Keadilan Dan Rakyat Kecil
Kesucian Hidup Kaum Miskin

Agama Sebagai Daya Integratif

Dalam setiap masyarakat, yang sekalipun ditandai dengan adanya konflik-konflik kepentingan di antara paraamggotanya, terjadi suatu keteraturan dan keterikatan di antara anggota. Apa yang mengikat anggota masyarakat itu sebagai suatu kesatuan? Bagaimana anggota masyarakat itu bisa merasa saling memiliki dan dimiliki? Agamalah yang merupakan ikatan terkuat. Sebaliknya kalau dalam satu masyarakat adamacam-macam agama, agama mudah menjadi sumber konflik.

Fungsi integratif (mempersatukan) agama bisa mengaburkan adanya perbedaan kepentingan antara elite dan massa. Fungsi integratif agama bisa melanggengkan kerukunan palsu atau semu yang tidak dilandasi asas keadilan sosial. Dengan demikian, fungsi integratif agama adalah mempertahankan dan melanggengkan institusi-institusi sosial lainnya. Dalam pengertian fungsi integratif inilah agama dapat menjadi candu yang merugikan rakyat miskin. Bagi mereka, agama merupakan mekanisme untuk menyesuaikan diri dengan penderitaan mereka, juga untuk menghalangi mereka mengakui kepentingan mereka sebagai klas tersendiri yang berbeda atau bertentangan dengan kepentingan klas lain.

Dalam pengertian fungsi integratif inilah agama dapat menjadi candu yang merugikan rakyat miskin. Bagi mereka, agama merupakan mekanisme untuk menyesuaikan diri dengan penderitaan mereka, juga untuk menghalangi mereka mengakui kepentingan mereka sebagai klas tersendiri yang berbeda atau bertentangan dengan kepentingan klas lain.

Baca juga :

Pengabdi Keadilan Dan Ikatan Primordial

Pengabdi Keadilan, “Ikan” dan “Kail”

Agama Sebagai Kontrol Sosial

Fungsi lain dari agama ialah sebagai kontrol sosial, dalam arti membantu orang-orang untuk hidup sejalan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini, kita bisa membedakan antara kontrol lahiriah dan kontrol batiniah agama. Kontrol lahiriah ialah suatu kontrol dari luar terhadap orang-orang. Sedangkan kontrol batiniah ialah suatu kontrol dari dalam hati nurani orang-orang itu sendiri.

Kontrol lahiriah agama berupa bentuk pemberian legitimasi. Ini berarti agama mengesahkan, memberi dasar atau memberi arti pelaksanaan kekuasaan dalam masyarakat. Manusia tidak hanya membutuhkan kekuasaan dan previlegi (hak-hak istimewa), tetapi juga membutuhkan perasaan atau keyakinan, bahwa kekuasaan dan previlegi itu merupakan haknya. Agama dalam hal ini memberi pengesahan kepada mereka yang berkuasa, bahwa mereka memang berhak berkuasa. Maka kita kenal idea raja sebagai pengejawantahan yang ilahi, dewa raja. Fungsi legitimasi agama terhadap kekuasaan ini jelas tampak kalau ketaatan kepada yang berkuasa dianggap sebagai suatu keutamaan, sedangkan ketidaktaatan sebagai cela atau dosa.

Kontrol batiniah agama membuat makin efektifnya kontrol lahiriah agama, sebab kaidah-kaidah agama yang memberi legitimasi kekuasaan telah diinternalisasikan dalam suara hati orang-orang. Justru kontrol sosial agama yang sangat diharapkan ialah bahwa agama bisa membentuk suara hati orang sehingga dia menahan diri untuk berbuat hal-hal yang tidak disetujui/diterima masyarakat.

Baca juga :

Membangun Paguyuban Kaum Marginal

Konflik Klas Dan Perubahan Sosial

Agama Sebagai Daya Kritik Kenabian

Kita telah melihat adanya fungsi agama, yakni memberikan legitimasi. Ada juga kemungkinan fungsi agama lainnya, yaitu tidak melegitimasi kekuasaan. Fungsi tidak melegitimasi inilah yang yang kami maksud sebagai fungsi kritik kenabian. Maka dari itu, tidak mengherankan kalau mereka yang berkuasa selalu mencoba menjalin hubungan baik dengan elite agama agar mendapat legitimasi, apalagi kalau pengaruh institusi agama dalam masyarakat yang bersangkutan kuat.

Berkaitan dengan hubungan antara agama dan keadilan sosial, fungsi kritik kenabian dari agama menjadi relevan. Asas keadilan sosial menuntut agar segala produksi yang dihasilkan masyarakat dibagi merata untuk semua warga. Asas keadilan sosial menegaskan perlunya pembagian terus-menerus kekayaan dan kekuasaan demi keuntungan anggota masyarakat yang paling kurang diuntungkan. Dengan kata lain, fokus perhatian utama dari prinsip keadilan sosial adalah nasib anggota masyarakat yang paling kurang diuntungkan, yaitu rakyat kecil atau warga masyarakat yang miskin.

Soal yang sangat penting ialah sejauh mana agama memberi perhatian utama kepada kaum miskin. Apakah perhatian, pelayanan dan pembelaan pada kaum miskin merupakan tuntutan ajaran agama yang ada? Apakah pembelaan dan pelayanan kepada kaum miskin lebih dipentingkan oleh agama dari pada kegiatan ritual agama? Sejauh mana agama berani menegaskan bahwa ibadah yang sejati adalah berbuat adil, memperhatikan, dan membela kepentingan mereka yang kecil dan miskin? Bukankah tanpa mengusahakan keadilan, ibadah menjadi ibadah yang munafik?

Kalau penegakan keadilan sosial, membela dan memperhatikan kaum miskin, rakyat jelata menjadi inti sari ajaran agama dan merupakan ibadah yang sejati, maka fungsi kritik kenabian agama sangat relevan.

Kiranya semua agama mempunyai komitmen memperhatikan dan membela kepentingan kelompok masyarakat yang lemah dan miskin. Hanya dalam perjalanan waktu komitmen itu dapat menguat dan dapat melemah. Tetapi, pada dasarnya komitmen itu ada. Kadang-kadang kesatuan antara ibadah dan amal menguat, di waktu lain kesatuan ini melemah. Fungsi kritik kenabian agama justru berperan untuk menegaskan kembali eratnya kesatuan antara ibadah dan amal.

Baca juga :

Memerdekakan Kelompok Marginal

Pendidikan Politik

Kooptasi

Yang dimaksud kooptasi di sini adalah minta dukungan dengan memberi imbalan. Sering terjadi ada koalisi antara elite politik dan elite ekonomi, yaitu para pemilik modal dan usaha ekonomi. Kedua kelompok ini saling mendukung dan saling membutuhkan, kerja sama antara keduanya saling menguntungkan. Untuk memperkuat koalisi mereka, kedua kelompok ini selalu berusaha untuk mengkooptasi, merangkul kaum intelektual atau para teknokrat, sehingga lahir koalisi elite politik, ekonomi, dan intelektual.

Sejauh elite agama terlalu gandrung akan semaraknya satu aspek kehidupan keagamaan yaitu kegiatan ritual dan kurang memiliki komitmen yang kuat untuk memperhatikan dan membela kepentingan kelompok masyarakat yang lemah dan miskin, maka elite agama akan mudah dikooptasi oleh elite politik dan elite ekonomi. Elite politik dan elite ekonomi akan berusaha untuk memberikan berbagai macam fasilitas yang memudahkan dan menyemarakkan kegiatan ritual agama. Sebagai imbalannya, elite agama memberikan dukungan dan legitimasi kepada kedudukan elite politik, elite ekonomi yang sudah didukung juga oleh elite intelektual. Demikian terjadi koalisi antara elite politik, ekonomi, intelektual dan elite agama.

Situasi inilah yang ditentang oleh perintah “Jangan menyebut nama Allah dengan sembarangan”. Elite agama melegitimasi tindakan dan penataan kehidupan masyarakat yang dibuat oleh elite politik, ekonomi dan intelektual. Akibatnya, suara dari bawah, yaitu dari kelompok masyarakat miskin, semakin tidak terdengar. Partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan mengenai kehidupan bersama menjadi semakin berkurang atau boleh dikata semakin tidak ada. Hal ini semakin diteguhkan lagi oleh kenyataan bahwa kelompok warga masyarakat yang miskin itu, karena pendidikan agama, juga menilai tinggi kegiatan ritual agama. Kecuali itu, keadaan yang pincang ini semakin dikuatkan oleh ajaran elite agama bahwa masalah yang ada dan mendesak adalah masalah konflik agama. Rasa sentimen keagamaan umat ditunggangi atau dimanfaatkan untuk menutupi adanya masalah yang sebenarnya yaitu masalah ketidakadilan sosial. Demikian dalam masyarakat yang pluralis dalam hal agama, konflik antaragama sering mengaburkan adanya masalah ketidakadilan sosial.

Baca juga :
Kesucian Politik
Suara Hati

Kerja Sama

Untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat, perlulah dihidupkan fungsi kritik kenabian dari agama. Untuk ini perlulah para elite agama dari berbagai agama mempunyai komitmen kuat untuk menegakkan keadilan, membela dan memperhatikan kepentingan kelompok masyarakat yang lemah dan miskin. Langkah selanjutnya ialah para elite agama perlu bekerja sama untuk menegakkan keadilan. Di sini mulai terjadi dialog karya antaragama. Penderitaan dan kesengsaraan kelompok masyarakat yang miskin menjadi sumber pemersatu para elite agama dan para penganut agama.

Kalau komitmen untuk menegakkan keadilan sosial, memperhatikan dan membela kepentingan kelompok masyarakat yang miskin begitu kuat dimiliki oleh para elite agama, maka para elite agama tidak akan mudah dikooptasi oleh elite politik, ekonomi dan teknokrat, dan juga mereka tidak mudah dipecah belah. Akhirnya, faktor yang juga sangat menentukan ialah kesiapsediaan para elite agama untuk menderita demi usaha menegakkan keadilan dalam masyarakat.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa perjuangan kaum elite agama bukan untuk mengambil kekuasaan atau menjadi penguasa baru. Perjuangan kaum agamawan bukan untuk meniadakan klas atau kelompok yang berperan kunci dalam struktur sosial yang ada, tetapi untuk mengajak kelompok yang berkonflik untuk bermusyawarah, merumuskan konsensus baru yang lebih adil. Inilah arti erat ya hubungan antara keadilan dan perdamaian.

Baca juga :

Kemiskinan, Lingkungan Hidup Dan Keadilan Sosial

Kerja Sama

Dapatkan update berita pilihan dan terbaru setiap hari dari JagoKomsos.Org

Mari bergabung di Grup dan Chanel Telegram “JAGO KOMSOS“, caranya klik link https://t.me/jagokomsos kemudian join. Anda harus menginstall aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *