WARTA IMAM

Membangun Paguyuban Kaum Marginal

oleh Aloysius Suryawasita, SJ

Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan saat membangun paguyuban kaum marginal. Beberapa faktor tersebut mempengaruhi keberhasilan kaum marginal, kaum yang dipinggirkan, maupun rakyat kecil, dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan mereka. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah kepemimpinan, ideologi, keluasan basis keanggotaan dan organisasi mereka. Organisasi yang lemah merupakan salah satu penghambat berhasilnya perjuangan kaum marginal.

Masalahnya adalah bagaimana para pengabdi keadilan membangun organisasi kaum marginal. Yang perlu dicermati lebih dahulu adalah bahwa gerakan perjuangan kaum marginal lebih merupakan proses daripada suatu gerakan mendadak, yang membawa perubahan sosial.

Membangun Paguyuban Kaum Marginal

Baca juga : Pengabdi Keadilan Dan Rakyat Kecil

Karena perjuangan mereka merupakan suatu proses, maka pengabdi keadilan harus menghindari adanya kecenderungan untuk terlalu menyederhanakan kemungkinan-kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan yang mendasar. Harus dihindari kesan seakan-akan perubahan begitu mudah akan terjadi. Tumbuh dan berkembangnya organisasi kaum marginal merupakan proses yang ditandai dengan pasang surutnya semangat perjuangan mereka.

Organisasi kaum marginal sebaiknya dimulai dengan membangun paguyuban atau kelompok, yang merupakan benih suatu organisasi. Paguyuban tersebut berperan sebagai benih maupun cikal-bakal sebuah organisasi. Sebagai sebuah paguyuban, jumlah anggota sebaiknya terbatas pada awalnya.

Paguyuban harus berperan menumbuhkan rasa senang dan kerasan pada para anggota. Untuk itu, pengabdi keadilan harus mengusahakan agar mereka mendapat perlakuan serta penghormatan yang sama, yang jarang atau bahkan hampir tidak pernah mereka dapatkan di masyarakat.

Baca juga : Kesucian Hidup Kaum Miskin

Demikian paguyuban itu mulai menanamkan nilai kesamarataan, yang merupakan nilai fundamental bagi tegaknya keadilan dalam masyarakat. Dalam paguyuban itu, para anggota mengalami “diuwongke” atau dimanusiakan, yaitu diperlakukan sebagai pribadi manusia yang berharga. Akibatnya, mulailah tumbuh rasa harga diri dan percaya diri. Untuk itu, setiap anggota juga harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan sekecil dan sesederhana apapun. Hal ini dituntut oleh kenyataan bahwa kadang-kadang apa yang baik bagi kelompok belum tentu baik bagi individu, dan sebaliknya apa yang baik bagi individu belum tentu juga baik bagi kelompok. Ketegangan ini harus diatasi dengan latihan terus-menerus dengan dialog, musyawarah di antara para anggota secara terbuka. Setiap keputusan yang diambilpun harus tetap terbuka untuk dinilai kembali.

Baca juga : Pengabdi Keadilan Dan Ikatan Primordial

Paguyuban harus berfungsi formatif atau mendidik para anggota. Paguyuban harus menumbuhkan budaya baru atau budaya alternatif terhadap budaya yang sudah ada di masyarakat. Masyarakat yang tidak adil biasanya dikuasai oleh budaya persaingan, budaya ketidaksamarataan, budaya bisu.

Paguyuban harus membangun budaya kerja sama, persaudaraan, kesamarataan, solidaritas dan budaya bicara. Dalam paguyuban, harus diupayakan bahwa para anggota mengalami secara nyata adanya kerja sama, persaudaraan, kesetiakawanan, perlakuan yang sama dan terlatih untuk berani bicara.

Demikian paguyuban dalam proses diharapkan membatinkan nilai-nilai dan norma-norma hidup yang merupakan alternatif terhadap nilai-nilai atau norma-norma yang ada dalam masyarakat. Karena itu, dalam paguyuban pengabdi keadilan perlu mengusahakan tumbuhnya perasaan atau kesadaran bahwa mereka merupakan klas atau kelompok yang berbeda dari klas atau kelompok lain. Untuk itu, harus jelas bagi masing-masing anggota bahwa mereka mempunyai kepentingan obyektif yang sama, mempunyai ikatan yang sama dan akhirnya sadar bahwa kepentingan atau kebutuhan yang sama harus diperjuangkan lewat paguyuban. Kuatnya paguyuban kaum marginal tergantung dari kerapnya interaksi antar anggota, saling paham tehadap sikap-sikap para anggota, pemilikan kesamaan nilai-nilai. Kalau tiga faktor ini ada, maka semakin siaplah mereka untuk melakukan atau memperjuangkan langkah atau tindakan bersama. Semakin paguyuban mampu membangun struktur sosial bagi para anggota dalam tingkat mikro, semakin kuatlah paguyuban itu.

Baca juga : Pengabdi Keadilan : Ikan vs Kail

Paguyuban akan semakin menjadi suatu institusi di luar institusi-institusi yang sudah mapan dan yang melanggengkan ketidakadilan sosial. Paguyuban juga akan tumbuh serta berkembang menjadi institusi sejati, yang berdaya kritik terhadap institusi-institusi yang ada dalam masyarakat. Pola-pola interaksi para anggota harus dibangun menjadi pola percontohan atau type ideal hubungan antar manusia dalam masyarakat yang lebih luas. Paguyuban seperti ini akan membawa efek demonstratif atau berdaya pikat terhadap orang-orang yang belum masuk menjadi anggota paguyuban. Orang-orang di luar paguyuban tertarik untuk masuk menjadi anggota atau membentuk paguyuban lain yang serupa. Demikian paguyuban kaum marginal semakin meluas dalam hal keanggotaan.

Akhirnya, sering dalam pembicaraan bersama, para anggota menghadapi suatu kenyataan yang sangat sulit diubah. Karena sangat sulit diubah, mereka lalu berpendapat bahwa kenyataan itu merupakan keharusan yang harus diterima. Mereka menyamakan kenyataan faktual dengan kenyataan normatif. Maka, pengabdi keadilan harus membantu mereka untuk membedakannya, dengan mengajak membuat refleksi kritis atas kenyataan-kenyataan faktual.

Tulisan ini pernah dimuat di Harian KomPas, 18 November 1984.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *