POJOK

Tania

Tania tertunduk. Wajahnya seperti menyulam kelam. Senja juga belumlah merona, masih jauh dari kata sempurna. Ah, senja. Senja ibarat lautan kenang, sebuah jeda jelang petang, yang memasung hari-hari perempuan paruh baya itu kala berpulang, menuju rumah, peraduan tempat segala mimpinya bermula, sekaligus tempat untuk mengakhiri penat rutinitas kesehariannya.

Sekuat tenaga, Tania mencoba untuk tersenyum. Ditegarkannya kecamuk-benaknya untuk sekali lagi membaca surat PHK dari kantornya. Seperti tak habis pikir, Tania kembali membaca baris demi baris dari secarik kertas tersebut. Benaknya menerawang, mengenang hari-hari panjang yang telah dilaluinya semenjak lulus kuliah hingga bungsu putri ketiganya menginjak bangku kelas enam SD saat ini.

Dua puluh tahun bukanlah bilangan angka yang sedikit. Selama itulah Tania mengabdikan diri di perusahaan itu dengan penuh kesetiaan, dedikasi dan sepenuh hati tentunya. Ia sadar, pandemi ini telah mengkoyak segala sudut kehidupan, tak terkecuali perusahaan tempatnya bekerja selama ini. Satu per satu rekan-rekannya mulai terkena PHK. Hari ini gilirannya pun tiba. Tania tak pernah menyangka sebelumnya. Surat permberhentian kerja itu memupus dua puluh tahun keteguhan dan pengabdiannya selama ini.

Tania tak tahu lagi bagaimana akan menyongsong hari, menyediakan sarapan bagi ketiga putri kesayangannya, membayar uang sekolah dan terutama uang kuliah anak sulungnya. Sekalipun kondisi serba kekurangan sudah menjadi kesehariannya, secarik kertas yang dipegangnya kali ini melengkapi segaalanya. Sempurna sudah pekik deritanya.

Semua orang di kampung ini tahu, sudah hampir sepuluh tahun Tania menjadi seorang single parent. Laki-laki yang selalu dicintainya lebih memilih pergi dengan wanita lain, meninggalkannya, meninggalkan ketiga anak perempuannya, untuk diasuh dan dididiknya seorang diri. Saat ini, Tania tak tahu lagi, kepada siapa bahkan harus mengadu.

Tuhan? Sudah lebih dari dua puluh tahun Tania menginggalkan Tuhan-nya, meninggalkan gereja, seiring pernikahannya dengan laki-laki tambatan hatinya yang berbeda religi. Sekalipun hati kecilnya masih di gereja, tetap saja Tania merasa kecil, merasa tak pantas, sekedar untuk mengadu kepada Sang Bunda.

Perlahan kuhampiri sahabatku yang duduk di sudut kedai itu. Kucoba untuk tersenyum sebisaku dan menunggu diksi penuturannya.

“Sudah selama inikah kita berteman?” parau suaranya memecah keheningan.

“Sejak kita duduk di bangku SMP bukan? Ada apa?” sahutku.

“Aku dirumahkan.”

Kalimat pendeknya mengaburkan diksiku. Mulutku seperti tercekat. Tak ada kata yang sanggup kupilih. Tak ada kalimat yang sanggup kuucap. Tak sanggup aku membayangkan hari-hari panjang yang akan dilaluinya esok hari.

Tania mencoba tersenyum. Getar bibirnya mengecilkan diriku. Justru aku yang tertunduk kini. Nasib takdirku memang sedikit lebih baik dari Tania, namun masih saja aku mengeluh, meratap, hingga sesekali memprotes pada Yang Empunya Hidup. Sungguh malu rasanya. Tania dengan sejuta lima masalahnya masih bisa tersenyum, sedang diriku masih juga mengaduh.

“Sebentar lagi memasuki masa Pra-Paskah bukan?” tanyanya masih sambil mencoba untuk tersenyum.

“Iya. Masa Pra-Paskah, masa berpantang dan berpuasa, masa pertobatan, dimulai dengan penyematan abu di dahi.” sahutku tanpa bermaksud menggurui.

“Aku masih ingat betul semua yang pernah kamu bilang. Katamu abu adalah simbol kerapuhan manusia yang mudah jatuh dalam kelemahan dan dosa. Abu juga adalah tanda pertobatan. Terus kita memulai masa tobat dengan berpuasa, bermatiraga, beramal kasih dan meningkatkan kehidupan doa. Masa puasa adalah waktu yang tepat untuk membenahi diri sebagai orang yang beriman. Seperti itu kan?” senyumnya.

“Yuup… kamu masih ingat semua itu?”

“Apakah salah kalau aku kembali ke gereja dengan kondisiku yang seperti saat ini?”

“Nanti kuantar menemui pastor paroki. Biar semua jelas dan tidak salah.”

“Makasih. Kamu emang sahabat terbaikku. Tau ngga, aku juga masih ingat dengan penuturanmu, kaubilang masa Pra-Paskah adalah waktu yang tepat untuk lebih menahan diri. Menahan segala kesenangan, segala kenikmatan, untuk terus berbuat amal dan lebih mendekatkan diri dengan Tuhan, sesama, lingkungan dan diri sendiri, iya kan?”

Sekali lagi aku merasa ditampar oleh kata-kata Tania. Aku masih terdiam merenungkan nasib perbuatanku sendiri akhir-akhir ini. Tania justru tersenyum saat ini.  

“Kamu juga pernah bilang, puasa sejati adalah membangun pertobatan, membangun sikap batin dengan meninggalkan hal-hal buruk dalam kehidupan sehari-hari, juga kesempatan untuk meningkatkan perbuatan amal kasih.”

Kali ini aku tersenyum, sedikit berbangga mengetahui sosok seorang Tania yang mampu mencerna semua itu.

“Kamu yakin mau ke gereja lagi?” kali ini kuberanikan diri untuk bertanya.

“Apakah Romo akan marah?” Tania bertanya balik.

“Tuhan juga tidak pernah marah bukan? Tuhan itu adalah Sang Maha. Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Sabar dan Maha Pengampun.”

“Sejujurnya, sudah sejak lama aku ingin kembali ke gereja. Aku masih ingat betul, kamu juga pernah bilang, bahwa tak pernah ada kata untuk terlambat. Bahkan Rasul Paulus sekalipun pernah bertobat setelah semua yang dilakukannya bukan?”

“Yuuup… Terus kenapa baru sekarang mau ke gereja lagi?”

“Sebetulnya sudah agak lama sih. Aku butuh waktu. Mungkin ini saat yang tepat. Agar jiwaku tenang kalaupun sewaktu-waktu aku mendahuluimu. Setidaknya, aku akan bisa menjawab agama yang kupeluk dan kuyakini seandainya ditanya oleh malaikat… haha…”

“Keren. Hanya itukah alasanmua? Tapi bukan karena saat ini kamu sedang tertimpa salib kehidupan kan?”

“KTP-ku memang bukan lagi Kristiani, tapi hatiku tak pernah berpaling. Aku bahkan tidak bisa bahasa KTP-ku, tapi juga tidak berani ke gereja. Aku harus bagaimana coba?”

“He em… tenang dulu… nanti kutemani bicara dengan romo.”

“Perlu kamu tahu, sekalipun aku takut untuk pergi dan berdoa di gereja, aku masih ingat dengan ajaran-ajaran gereja tentang pertobatan.”

“Oh ya?” aku terkejut.

“Ada tertulis, maaf aku lupa detailnya, ‘Berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan mengaduh’. Apakah ini artinya sekarang, saat ini adalah waktu yang tepat untuk bertobat? Untuk diselamatkan?”

“Kan tadi udah kubilang, tak akan pernah ada kata terlambat, Tan.”

“Iya. Aku juga masih ingat kisah tentang Paulus, yang memberikan dirinya untuk didamaikan dengan Allah. Mungkin ini memang saat yang tepat.”

“Salut buat kamu, Tan. Butuh keberanian dan kerendahan hati untuk memberikan diri didamaikan dengan Allah. Jangan sia-siakan kasih karunia yang telah kamu terima. Jadikan hari-hari pertobatan ini sebagai hari penyelamatan itu.”

“Itulah yang menguatkan diriku untuk segera bertobat dan kembali ke gereja.”

“Setuju. Bahkan Yesus sendiri mengingatkan kepada kita, agar berhati-hati dalam menjalankan kewajiban agama kita sebagai orang beragama dan beriman, terlebih selama masa Pra-Paskah ini. Jangan suka pamer agar dilihat orang. Tindakan itu justru tidak akan mendatangkan rahmat dan berkat, juga sangat tidak bernilai tentunya. Tujuannya jelas, yaitu agar kita tidak jatuh dalam kecenderungan suka pamer. Orang seperti itu sudah mendapat bagiannya dari Allah. Juga dalam hal memberi sedekah, dalam hal berdoa dan berpuasa. Semua tindakan itu harus dijalankan dari hati dan dengan hati, serta demi kemuliaan Tuhan. Semua ungkapan lahiriah harus keluar dari ketulusan hati, dari kerendahan hati dan dari kesungguhan hati, tanpa ada maksud tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari.”

“Sebab Bapa yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu, bukan?”

“Tuh tau… Nanti kutemani menghadap romo. Sekarang kita doa bersama aja dulu, biar kamu semakin tenang. Semoga masa puasa, masa Pra-Paskah ini dapat kita jalani dalam semangat pertobatan dan kerendahan hati, agar apa yang tersembunyi, yang kita lakukan dalam diam, mendatangkan rahmat dan berkat berlimpah. Seperti itulah puasa dan tobat yang sesungguhnya. Semoga dengan bertobat, kita semakin dapat berbenah, berubah dan berbuah.”

“Amin.”

Ada haru dalam benakku. Langit malam seolah terbentang. Jutaan bintang seolah mengamini percakapan kami di kedai usang di bilangan kota sekecil ini.

@MataAir @Hummingbird

#prapaskah #tobat #pertobatan