ARTIKEL

Generasi 70an Wajib Baca

Masa remaja adalah masa yang paling indah. Setuju. Kebahagiaan memang milik semua orang. Kebahagiaan juga milik segala usia. Tak peduli orok yang baru bisa mengompol, menangis dan tertawa, tak peduli anak-anak yang begitu sederhana dan lepas berkehendak hati, bahkan lansia yang sudah kenyang dengan asam-garam dunia sekalipun, pada dasarnya berhak untuk bahagia. Kebahagiaan adalah milik semua orang, segala lapisan. Tak peduli laki-laki maupun perempuan, anak-anak, remaja, dewasa hingga orang tua, semua berhak untuk hidup bahagia.

Secara khusus, masa remaja seringkali digambarkan sebagai masa yang dinamis, masa produktif, hingga masa yang imajinatif. Dinamis ketika sanggup memasuki dunia baru lengkap dengan segala variasi dan tantangannya. Produktif ketika waktu dan tenaga seolah tak terbatas. Imajinatif ketika mereka bebas memikirkan hal-hal apapun yang menarik bagi diri pribadinya.    

Terlepas dari semua itu, masa remaja sekaligus masa yang rentan, masa yang labil, serta masa pencarian kesejatian diri. Rentan ketika segala pengaruh sosial dapat dengan mudahnya masuk dan mempengaruhi pola pikir mereka. Labil ketika pengaruh psikologis belum tertata dengan begitu jelas. Masa remaja juga ajang pencarian jati diri. Mereka dalam tahap membangun sebuah kepribadian, namun sekaligus belum dapat sepenuhnya lepas dari proses meniru karakter maupun kepribadiaan orang lain.  

Bertitik tolak dari hal-hal di atas, dapatlah kiranya dikatakan bahwa masa remaja adalah masa yang begitu komplek. Globalisasi, tantangan maupun tuntutan zaman serta ke-aku-an semakin menambah kompleksitas fase remaja di berbagai lapisan masyarakat kita. Mereka seolah berlomba-lomba menunjukkan kesejatiannya, walau terkadang hanyalah kesemuan duniawi. Mereka tak mau kalah dengan pribadi-pribadi yang dikatakan lebih dewasa. Mereka beranggapan bahwa kami juga bisa. Mereka hidup dalam kungkung-kekang arogansi yang dijadikan simbol ke-aku-an masing-masing. Sungguh sebuah fase yang begitu komplek.

Cerita Tempo Doeloe

Jaman dulu atau biasa disebut dengan istilah jadul di kalangan anak-anak milenia saat ini, tak pernah lepas dari yang namanya dunia remaja. Remaja jadul cenderung mengeksplorasi ke-aku-an demi ditunjukkan pada lawan jenisnya. Ibarat pejantan manyar yang begitu gigih sekaligus kreatif membangun sebuah sarang, hanya demi untuk memikat dan menarik pasangan hidupnya. Sang Pejantan Manyar begitu gigih menyulam helai demi helai ranting hingga rerumputan demi sebuah sarang eksotis dengan satu pengharapan akan dilihat dan dipilih oleh betina Manyar.

Remaja jadul lebih cenderung mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya demi sosok yang disukainya, ditaksir istilah keren pada jamannya. Seolah apapun akan dilakukan demi mendapat peng-iya-an dari sosok yang diinginkan atau ditaksir olehnya. Kekhasan hingga karakteristik budaya menjadi kisah tersendiri. Timbullah budaya surat-menyurat, pujangga instan, penyair dadakan, hingga melahirkan para pemimpi alias tukang mimpi yang hanya berani membayangkan namun tanpa adanya aksi nyata.

Yang menarik dari fenomena remaja tempo doeloe, bagaimana proses mengejar dan berimprovisasi ketika mengejar sosok yang didamba justru menjadi kisah-kisah tersendiri dibanding keberhasilan yang dicapainnya. Mereka seolah menjadi Sang Pelupa, lupa dengan segala sesuatunya, lupa bahwa usianya masih terbilang belia dalam mengarungi kehidupan, lupa bahwa mereka memiliki tanggung jawab moral hingga masa depan yang harus ditata dan dipersiapkan. Dunia mereka seolah hanyalah romansa yang menjadi milik berdua, orang lain seolah hanyalah pengganggu kebersamaan hati. Dunia yang dilumuri oleh cinta, katanya.

Faktanya, sedalam apapun pemahaman mereka akan romantisme sebuah hubungan maupun pemahaman hidup dalam kehidupan, masa remaja tempo doeloe selalu dikemas seindah dan seromantis mungkin. Hal-hal inilah yang kiranya melahirkan sebuah ungkapan : masa remaja adalah masa yang paling indah. Tak terpungkiri, mengingat hari-hari semasa remaja dipenuhi dengan keinginan serta impian-impian setinggi langit akan bahagianya sebuah kebersamaan.

The Power of Love

Dari proses, kebiasaan hingga pemahaman sebuah romansa tempo doeloe ini, melahirkan sebuah istilah, sebut saja kekuatan cinta. Tak heran jika manusia-manusia jadul, orang-orang tempo doeloe, cenderung menjadi sosok yang setia terhadap pasangannya. Hal ini sangatlah logis mengingat mereka berhasil mendapatkan pasangan setelah melewati proses yang tak mudah, penuh liku, bahkan seolah tak akan pernah surut sekedar untuk diceritakan, dikisahkan, dipertahankan dan dibanggakan.

Hanya cinta yang sanggup mengubah segalanya. Cinta juga yang akan meninggikan dirimu atau justru memasung dan menenggelamkan dirimu hingga jurang yang terdalam sekalipun. Cinta lebih dari sekedar kata. Cinta adalah cukup untuk cinta saja, tanpa mengurangi arti dan keluhuran makna yang terkandung di dalamnya. Cinta adalah bersama, meniti cita dan menjadi bahagia. Cinta adalah memberi bukan memulu meminta. Cinta adalah saling menghormati bukan ingin dihormati semata. Cinta adalah pengorbanan. Cinta adalah sebuah kekuatan magis yang menjadikan seseorang ‘aku yang lain’, aku yang bukanlah aku, aku yang lebih baik, hingga aku yang lebih dewasa.

Demikian ungkapan-ungkapan romansa perihal masa remaja di era terdahulu. Lalu bagaimanakah gambaran remaja di era jaman now? Apakah sudah berubah? Apakah tidak sama? Apakah sungguh berbeda dengan gambaran remaja tempo doeloe?

Kalau boleh diringkas, jawabannya cukup singkat : remaja jaman now adalah remaja yang cukup rumit.

Globalisasi, Teknologi dan Peradaban

Generasi Milenia adalah generasi yang cukup kompleks. Mereka dihadapkan pada tuntutan jaman. Globalisasi di semua lini kehidupan, pencapaian hingga pesatnya perkembangan teknologi hingga peradapan yang lambat-laun mulai bergeser, mulai berubah.

Budaya surat-menyurat telah raib, tergantikan oleh sarana media sosial yang jauh dari kata sederhana. Sarana dan prasarana transportasi jauh lebih mendukung dibanding era sebelum milenia. Teknologi seolah menjadi guru baru, dosen baru, diktat baru, sekolah baru, bahkan menjadi kamus hidup yang baru. Peradapan betul-betul telah berubah, jauh dari kata sederhana.

Saya dan Anda berubah menjadi Aku dan Kamu, satu hal yang agak sulit dipahami bagi orang-orang tempo doeloe. Sungguh, betapa saya dan aku sejatinya adalah diksi yang sama, namun menjadi lain ketika dimaknai dengan sentuhan rasa.

Betapa gadget seolah menjadi dewa baru dalam perikehidupan umat manusia. Hidup seolah hanya dalam genggaman. Hidup seolah sudah cukup hanya dengan bermodalkan sebuah telepon pintar. Bahkan kebahagiaan sekalipun seolah bergeser nilai rasa dan pemahamannya.

Lalu seperti apakah gambaran remaja jaman now?

PIR Jawabannya

Advertisements
Advertisements

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *